Sebagian orang berpendapat, buah sudah dapat dipastikan halal sehingga tidak perlu dilakukan sertifikasi halal. Sebagian lainnya, berpendapat bahwa meski bahan bakunya halal, makanan yang sudah melalui proses pengolahan tetap harus diperiksa kehalalannya. Padahal ada beberapa titik kritis kehalalan buah yang sudah diolah menjadi jus buah kemasan.
Baca juga: Salad Point, Brand Salad Lokal Pertama yang Kantongi Sertifikat Halal
Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) antara lain menetapkan bahwa seluruh produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika hingga produk kimia yang beredar di Indonesia harus bersertifikat halal. Termasuk produk olahan yang berbahan dasar buah.
Direktur Utama LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si, menjelaskan bahwa pada dasarnya buah halal untuk dikonsumsi, sehingga tidak perlu disertifikasi halal. “Namun, jika buah tersebut mengalami proses pengolahan dengan mencampur bahan tambahan tertentu, maka kita perlu mencermati titik kritisnya. Karena buah berpotensi berubah status menjadi haram,” terang Muti.
Jus buah yang beredar di pasaran umumnya berasal dari sari buah yang telah dipekatkan dan dicampur dengan bahan-bahan lain, diantaranya gula, penstabil berupa Carboxy Methyl Cellulose (CMC), pewarna, flavor, pengasam, vitamin, enzim, hingga gelatin.
Bahan tambahan maupun bahan penolong dalam proses pembuatan jus buah tersebut memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda. CMC pada jus buah berperan sebagai bahan penstabil. Bahan ini juga dapat mencegah pengendapan protein.
Pada jus buah biasanya juga digunakan enzim pektinase. Tujuannya, untuk menghasilkan jus buah yang jernih. Asal-usul dan cara produksi enzim tersebut harus diketahui untuk memastikan kehalalannya. Jika enzimnya merupakan enzim mikrobial maka harus dipastikan bahwa media yang digunakan terbebas dari bahan haram atau najis.
Selain pektinase, proses penjernihan pada pembuatan jus terkadang juga dibantu dengan menggunakan gelatin yang berfungsi mengikat bahan pengeruh sehingga proses pemisahannya menjadi lebih mudah.
Gelatin berasal dari tulang maupun kulit hewan. Jika gelatin tersebut berasal dari hewan halal dan disembelih secara syariat Islam, maka hukumnya halal. Sebaliknya, jika berasal dari hewan haram, termasuk hewan halal namun proses penyembelihannya tidak sesuai syariah, maka jus yang menggunakan gelatin ini menjadi haram.
“Bahan lain yang digunakan adalah gula, bahan pengasam dan flavor. Gula bersumber dari bahan nabati yaitu tebu, yang pasti halal. Ada juga gula yang terbuat dari bit. Titik kritis pada gula terdapat pada proses pemurnian atau proses rafinasi yang bersinggungan dengan bahan tambahan lain yang mungkin tidak halal,” papar Muti.
Proses rafinasi pada gula perlu dilakukan untuk menghasilkan gula yang berwarna putih bersih. Proses pemutihan biasanya melibatkan arang aktif, yang dapat berasal dari tempurung kelapa, serbuk gergaji, batu bara atau tulang hewan. Arang aktif yang terbuat dari tulang hewan ini yang harus dipastikan kehalalannya. Demikian juga penggunaan perisa dan bahan lain yang harus dipastikan kehalalannya.
“Alhamdulillah, di pasaran kini telah tersedia aneka jus buah yang telah memiliki sertifikat halal MUI. Ini yang seharusnya menjadi patokan saat kita ingin membeli jus buah dalam bentuk kemasan,” ujar Muti.
Saat ini, mengecek produk halal bukanlah suatu hal yang sulit. Konsumen dapat langsung mengecek produk halal melalui website www.halalmui.org atau aplikasi Halal MUI yang dapat diunduh di Playstore. Mudah bukan? Selamat mencoba..[ah/lppom]