Penambahan Kata Sayyidina Pada Shalawat Tasyahud

 

Penambahan Kata Sayyidina Pada Shalawat Tasyahud

Berikut redaksi shalawat dalam tasyahud akhir :

 اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Jika dilihat secara tekstual, kita tidak menemukan kata “sayyidina”dalam shalawat tersebut. Sayyiduna atau “sayyidina”artinya adalah tuan kami  atau enghulu kami.  Kata ini digunakan oleh orang Arab untuk menyanjung atau menghormati seseorang. Dan sayangnya, tidak ada dalil khusus secara tekstual hadis yang melarang atau membolehklan menambahkan kata sayyidina. Dari sinilah sebagian ulama ada yang membolehkan menambahkan kata “sayyidina”disertai dalil-dalil yang mendukungnya dan sebagian ulama lainnya yang tidak membolehkan dengan berbagai dalil pendukungnya.

Berikut dalil-dalil yang mendukung dan tidak mendukung :

A. Dalil Ulama yang membolehkan atau mendukung.

عَن أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ

Dari Abu Harairah RA beliau berkata : “Rasulullah SAW telah bersabda : “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (HR. Muslim)

Berdasarkan pemahaman hadis ini, menambahkan kata sayyidina tentu diartikan sebagai sikap penghormatan kepada Rasulullah SAW. Hadis di atas juga bisa difahami bahwa beliau SAW adalah Sayyid (penghulu) manusia di hari akhir.

Namun, para ulama yang kontra juga tidak mau kalah dengan menghadirkan dalil berikut :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Artinya : Dari Ibn Abbas Ra dia mendengar Umar RA berkata di atas mimbar “ Aku mendengar Nabi SAW bersabda : “Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Bukhari )

Para ulama yang kontra memahami hadis di atas sebagai pelarangan menambahkan kata “sayyidina” karena sudah termasuk menyanjung nabi seperti kaum nasrani menanjung nabi Isa AS. Dan hadis ini juga bisa difahami bahwa Rasulullah SAW lebih suka disebut dengan nama Abdullah atau Rasulullah SAW saja tanpa ada embel-embel “sayyiduna.”

Tapi, ulama yang mendukung penambahan kata “sayyidina”membantah argumen yang diajukan oleh ulama yang kontra dengan mengajukan dalil di atas. Mereka mengatakan bahwa pengertian hadis di atas adalah larangan Rasulullah SAW untuk menyanjung atau menghormati beliau secara berlebihan hingga mengakibatkan kemuyrikan. Umat Nasrani jelas berlebihan dalam menyanjung Nabi Isa AS. Mereka (Nasrani) memuliakan dan menyanjung Isa AS dengan cara menjadikan beliau sebagai Anak Allah dan menjadikan  Tuhan. Penyanjungan yang seperti ini jelas dilarang oleh Rasulullah SAW. Sedangkan menambahkan kata “sayyidina”dalam shalawat yang dibaca ketika shalat tidaklah bermakna seperti menanjung Isa AS sebagai anak Allah. Menambahkan kata sayyiduna hanya bertujuan memuliakan beliau sebagai nabi dan penghulu manusia sebagai mana hadis Riwayat Muslim di atas bahwa Rasulullah pernah bersabda “Akulah Sayyid (penghulu) anak-anak Adam AS.

B. Dalil Ulama tidak setuju

Bacaan dalam shalat, termasuk bacaan shalawat dalam tahiyyat adalah bacaan baku yang tidak boleh ditambah atau dikurangi redaksinya. Mereka berdalil dengan hadis berikut :

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”

Dengan hadis di atas, para ulama yang tidak setuju dengen “sayyidina” memahami bahwa tata cara shalat adalah baku dan tidak bisa diutak-atik, tidak bisa ditambah atau dikurangi oleh siapa pun. Kaifiyah (tata cara) shalat dari A sampai Z sudah dijarkan oleh Rasulullah dan kita tidak boleh merubahnya sedikit atau sekecil apa pun itu. Perkara shalawat dalam tasyahud akhir juga termasuk perkara ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah melalui hadis berikut berdasarkan riwayat Imam Nasa’i :

عَنْ مُوسَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا أَتَى نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Dari Musa Ibn Thalhah RA dari bapaknya bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW, lau dia bertanya : “Bagaimana cara kami bershalawat kepada Engkau, wahai Nabi Allah ?”. Rasulullah SAW menjawab : “Katakanlah :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ

مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Teks shalawat berdasarkan hadis di atas sama sekali tidak mencantumkan “sayydina”. Jadi, tidak dibenarkan menambha-nambah cara bershalawat kepada Rasuluyllah SAW dengan menambahkan “sayiidina”.

Tapi para ulama yang pro dengan penambahan “sayyidina” membantah argumen di atas. Diantara bantahan mereka adalah :

Potongan hadis صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي lengkapnya adalah sbb :

حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ – وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا – وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (H.R. Al-Bukhari)

Hadis di atas tentu difahami bahwa Rasulullah SAW memberi bekal kepada para sahabat yang akan pulang ke kampung mereka setelah belajar selama 20 hari bersama Rasulullah SAW. Rasulullah tidak mau memberatkan para sahabat yang belajar waktu itu sehingga mengatakan ” Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat”. Dalil di atas masih sangat umum, tidak ada teks yang melarang secra spesifik untuk menambahkan teks bacaan shalat yang masih berhubungan dengan asalnya.

Kita bisa melihat kasus lain ketika ada salah seorang sahabat yang dengan inisiatifnya menambahkan bacaan i’tidal. Peristiwa tersebut tercatat dalam hadis riwayat  Al-Bukhari berikut :

عَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا». رواه البخاري.

Rifa’ah bin Rafi’ RA berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari )

Dari riwayat di atas, sudah jelas sekali bahwa ada salah satu sahabat Nabi yang dengan sengaja menambahkan bacaan i’tidal tanpa lebih dahulu meminta pendapat Rasulullah SAW dan buktinya Rasulullah tidak marah bahkan memuji  karena bacaannya itu. Kasus dalam hadis ini tentu tidak jauh berbeda dengan kebolehan menambahkan kata ”sayyidina” di dalam shalawat tasyahud akhir dengan tujuan menjaga adab kita terhadap Rasulullah SAW.

Namun sekali lagi, fiqh memang tidak lepas dari ikhtilaf para ulama. Argumen yang ulama pro ”sayyidina” masih dibantah oleh ulama yang tidak sependapat. Mereka mengatakan bahwa hadis riwayat Rifa’ah RA tidak bisa dipukul rata begitu saja. Inisiatif sahabat yang menambahkan bacaan i’tidal itu sudah mendapat taqrir (persetujuan) dari Rasulullah SAW. Artinya, tindakan sahabat tersebut  dibenarkan karena disetujui oleh Rasulullah SAW. Ada pun inisiatif menabahkan kata ”sayyidina” tidak ada satu hadis pun yang menerangkan tentang taqrir (persetujuan) dari Rasulullah SAW.

Kesimpulan :

Menambahkan kata ”sayyidina” pada shalawat tasyahud akhir adalah perkara khilafiyah para ulama. Khilafiyah tersebut terjadi karena berbedanya pemahaman terhadap teks-teks hadis yang dijadikan dalil dalam masalah ini. Karena bersifat khilafiyah, maka pilihan ada di tangan kita masing-masing dengan tetap menghargai pendapat para ulama yang pendapatnya tidak kita pilih. Sesama muslim adalah bersaudara.

Wallahu a’lam.

Ridwan Shaleh

Referensi :

  1. Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu

  2. Shahih Al Bukhari

  3. Shahih Muslim

  4. As Sunan Al Kubra Lil Imam An-Nasa’i

  5. Dll

Sumber gambar : www.muslim.or.id

Donasi PKH