Menyesuaikan Waktu Shalat

 

Sumber foto : http://styagreennotes.blogspot.com

Menyesuaikan Waktu Shalat

Kajian Kitab Shahih Al-Bukhari

Bersama Ustadz Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ ﴿١

ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ ﴿٢

وَٱلَّذِينَ هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ ﴿٣

وَٱلَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَوٰةِ فَٰعِلُونَ ﴿٤

وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَٰفِظُونَ ﴿٥

إِلَّا عَلَىٰٓ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya. An orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki.”
(QS. Al-Mu’minun 1-6)

Kitab : مَوَاقِيتِ الصَّلَاةِ
Bab : الأِبْرَادُ بِالظُّهْرِ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ

Hadis nomor 534 atau cetakan lain nomor 502 :

حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَنْ سُلَيْمَانَ قَالَ صَالِحُ بْنُ كَيْسَانَ حَدَّثَنَا الْأَعْرَجُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَغَيْرُهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَنَافِعٌ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُمَا حَدَّثَاهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Ayyub ibn Sulaiman ibn Bilal, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Sulaiman, dia berkata: Shalih ibn Kaisan, telah menceritakan kepada kami al-A’raj Abdurrahman, dan selainnya, dari Abu Hurairah dan Nafi’ mantan budak Abdullah ibn Umar, dari Abdullah ibn Umar, bahwa keduanya menceritakan kepadanya, dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Jika udara sangat panas menyengat maka tundalah shalat, karena panas yang sangat menyengat itu beras al-dari hembusan api Neraka jahannam.”
Hadits ini istimewa sebab diriwayatkan oleh dua jalur namun satu nomor hadits, yaitu Al-A’roj dari Abu Hurairoh dari Solih bin Khisam. Yang satu lagi dari Solih bin Khisan dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar. Keduanya-dianya dari Rasulullah SAW, yaitu : Jika panasnya terlalu, maka tunggulah hingga adem dahulu baru shalat. Karena panas yang terik tersebut merupakan bagian dari neraka jahannam.boleh saja diundur sedikit
Maknanya? Pada kondisi-kondisi tertentu kita tidak harus shalat di awal waktu. Pada saat panas terik, boleh saja diundur hingga panasnya agak reda. Hadits ini menggambarkan bahwa agama Islam merupakan agama yang memperhatikan segala aspek dan kondisi. Islam merupakan agama yang ‘mudah’. Kita boleh menunggu saat panas matahari tak terlalu terik, misalnya shalat Zuhur pukul 14.00 atau bahkan pukul 14.30 WIB. Secara tekstual, sebabnya ialah panas tersebut merupakan bagian dari neraka Jahannam. Namun, sebab lainnya ialah tidak mau merepotkan orang. Misalnya, karena terlalu panas saat kita shalat berjama’ah kita menjadi kepanasan (gerah),bacaan imam terlalu lama kita tak sabar, shalat menjadi tidak khusyu’ karena kepanasan (kegerahan). Islam merupakan agama yang begitu arif sehingga kita boleh menunggu saat suasana lebih adem sedikit.

Secara syar’i memang ada beberapa hadits yang membolehkan memundurkan waktu shalat sesuai dengan kondisi seseorang, misalnya: saat makanan sudah dihidangkan. Kita diperbolehkan makan dahulu baru shalat. Saat sedang berpuasa, kita boleh makan berbuka dahulu baru mengerjakan shalat. Dahulu, pada zaman kenabian, Rasulullah saw. melihat kondisi di dalam masjid terlebih dahulu untuk menunaikan shalat Isya’. Jika Rasulullah saw. melihat sudah banyak sahabat yang berkumpul di dalam masjid maka Beliau saw menyegerakan shalat Isya’ tersebut. Namun, jika sahabat masih sedikit, maka Beliau memundurkan waktu shalat Isya’ tersebut dengan menunggu kehadiran para sahabat. Dari hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwasanya kita boleh memundurkan waktu shalat dengan kondisi tertentu namun tetap sesuai dengan hadits. Kita sendiripun saat shalat Jum’at memundurkan waktu shalat sebab pasti mendengarkan khutbah terlebih dahulu. Oleh sebab itu, dari hadits-hadits ini kita pun dapat mengetahui bahwasanya mengerjakan shalat berjama’ah lebih utama dibandingkan shalat di awal waktu.

Dalam suatu masjid, imam masjidlah yang memiliki wewenang untuk menentukan waktu shalat berjama’ah sesuai dengan kesepakatan. Misalnya, saat bulan Desember, adzan Subuh dikumandangkan jam 4.00 pagi, namun boleh saja shalat berjama’ah dimundurkan menjadi pukul 04.30 WIB. Akan tetapi, saat suah bulan Februari yang mana azan Subuh berkumandang pukul 04.30, misalnya, maka shalatnya jangan dimundurkan sebanyak 30 menit seperti saat bulan Desember, tapi lima menit, misalnya. Sebab, jika jam 05.00 wib baru melaksanakan shalat Subuh berjama’ah, orang-orang yang akan pergi bekerja bisa terlambat datang ke kantornya masing-masing.
Lalu bagaimana jika kondisinya banjir? Pada masa Abullah bin Umar pernah terjadi hujan yang sangat lebat. Saat itu, setelah muadzin mengumandangkan adzan, Beliau menambahkan dengan kalimat pengumuman bahwasanya kaum mukminin dipersilakan shalat di rumah saja karena hujan yang sangat lebat sedang berlangsung di masa itu sehingga kondisinya tidak memungkinkan. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat mudah, agama yang cocok untuk segala tempat dan waktu.
Apakah shalat ini berlaku hanya untuk shalat Dzuhur saja? Bagaimana jika sedang dalam perjalanan? Bolehkan menunda waktu shalat?
Lihat Bab : الْإِبْرَادُ بِالظُّهْرِ فِي السَّفَرِ
Hadis No. 539 atau cetakan lain nomor 506 :

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا مُهَاجِرٌ أَبُو الْحَسَنِ مَوْلَى لِبَنِي تَيْمِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ وَهْبٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَرَادَ الْمُؤَذِّنُ أَنْ يُؤَذِّنَ لِلظُّهْرِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْرِدْ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُؤَذِّنَ فَقَالَ لَهُ أَبْرِدْ حَتَّى رَأَيْنَا فَيْءَ التُّلُولِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ فَإِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ{تَتَفَيَّأُ}تَتَمَيَّلُ

Telah menceritakan kepada kami Adam ibn Abu Iyas, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami, dari Muhajir Abu al-Hasan mantan budak bani Taimillah, ia berkata: Aku mendengar Zaid ibn Wahb, dari Abu Zarr al-Ghifari, dia berkata: “Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan, ketika ada mu’adzin yang hendak mengumandangkan Azan Zhuhur, Nabi saw bersabda: Tundalah Sesaat kemudian mu’adzin itu kembali akan mengumandangkan Azan. Maka Nabi saw pun kembali bersabda: Tundalah hingga kita melihat bayang-bayang bukit. Kemudian Nabi saw bersabda: Sesungguhnya panas yang sangat menyengat itu beras al-dari hembusan api jahannam. Maka apabila udara sangat panas menyengat tundalah shalat (hingga panas) mereda. Ibn Abbas berkata: Maksud dari firman Allah: Tataqayya’u (Qs. An Nahl: 48) adalah condong.
Ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw. shalat Zuhur di saat waktu shalat Ashar telah dekat. Ini boleh saja kita lakukan, namun yang perlu diperhatikan ialah jangan sampai kita meninggalkan shalat. Mengapa pada saat itu Rasulullah saw menunda waktu shalat? Sebab panas yang sangat terik. Jika sang muadzin saat itu mengumandangkan adzan, tentulah akan memberatkan para jama’ah. Hal ini disebabkan panas di Madinah sangat terkenal teriknya, bahkan pernah hingga 60 derajat. Dengan demikian, jika kondisi panas itu justru akan menyebabkan datangnya suatu penyakit, maka boleh shalat di rumah ataupun menunda shalat.
Bagaimana cara kita shalat jika dalam kondisi yang sangat macet hingga waktu shalat hampir habis? Lihat dulu, macet tersebut saat perjalanan dari mana ke mana? Jika ke luar kota, Padang misalnya, kita boleh melakukan jama’, baik jama’ taqdim maupun jama’ takhir. Namun, bagaimana jika kondisi macet di Jakarta? Misalnya, saat perjalanan pulang kantor? Saya pribadi termasuk dalam madzhab yang tidak membolehkan untuk menjama’ shalat. Sebab, jaraknya belum mencukupi untuk melakukan jama’. Yang terjadi, banyak dari kita yang belum mementingkan shalat. Seharusnya, kita telah menghitungnya. Hitungnya bukan hitung kondisi normal, namun hitung saat kondisi macet. Jika kita mementingkan shalat seharusnya kita memiliki solusinya.

Wallahu a’lam.
Diambil dari video warungutad.com melalui link :
http://www.warungustad.com/hadis-533-539-menyesuaikan-waktu-shalat-02-02-2014

Donasi PKH
  • sultan69