Manusia adalah makhluk sosial yang kesehariannya tidak lepas dari pergaulan. Dalam agama Islam, pergaulan atau interaksi sosial dikenal dengan istilah mu’amalah, yaitu hubungan sosial yang berlandaskan syariah. Artinya, walaupun ada unsur kebebasan untuk berinteraksi dengan siapa saja, termasuk kepada non muslim, tetap saja harus berlandaskan syariah yang tujuannya tidak lain adalah memperoleh maslahat.
Yang namanya manusia, tentu memiliki karakter dan kebiasaan berbeda. Dalam kenyataanya, hubungan antar individu atau pun kelompok tidak lepas dari perselisihan, ketidak harmonisan, pertentangan, pertikaian dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut bisa saja terjadi karena egoisme, arogansi, anarkisme dan sejenisnya. Karena merasa lebih atau paling hebat, seseorang berlaku zhalim terhadap orang lain. Agar manusia tetap berada pada fitrahnya sebagai makhluk terbaik, maka Islam membahas perkara-perkara mua’malah untuk kebaikan manusia itu sendiri, baik untuk seorang muslim maupun non muslim.
Ada karakter yang semestinya dimiliki oleh setiap muslim dalam mu’amalah. Rasulullah Shallalllahu Alaihi Wa Sallam begitu indahnya menggambarkan individu yang memiliki karakter “As-Samh” dalam satu hadis berikut :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.
“Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Ayyasy telah menceritakan kepada kami Abu Ghossan Muhammad bin Muthorrif berkata, telah menceritakan kepada saya Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir bin ‘Abdullah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah merahmati orang yang memudahkan ketika menjual dan ketika membeli dan juga orang yang meminta haknya”. (HR. Al-Bukhari no.1934). Hadis semisal juga diriwayatkan oleh Ibn Majah no. 2194, Tirmidzi no. 1241, Ahmad 390 dan Malik no. 1193).
Kata “Samhan” (سمحا) dalam hadis di atas adalah bentuk mashdar yang memiliki beberapa makna diantaranya adalah “Sahlan” yamg artinya kemudahan dan juga “Juudan” yang bermakna dermawan, hati yang lapang dan berjiwa mulia. Dengan demikian, Samhan (سمحان) adalah orang yang suka memberi kemudahan, berhati lapang, berjiwa mulia dan dermawan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam memuji dan mendoakan agar Allah memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada orang yang “Samhan”, baik ketika posisinya sebagai pedagang, pembeli atau orang yang meminta haknya dikembalikan.
Contoh berlaku samhan bagi penjual adalah tidak mematok harga terlalu tinggi, tidak mengeruk keuntungan terlalu banyak, tidak “jutek” kepada pembeli dan lain sebagainya.
Samhan bagi pembeli adalah tidak terlalu banyak menawar apalagi dengan harga tawar yang “menyakitkan”, mencela barang yang akan dibeli, membatalkan transaksi dengan alasan yang tidak wajar dan tidak selalu merasa bahwa “Pembeli Adalah Raja”.
Samhan bagi orang yang meminta haknya adalah tidak memaksa dalam menagih hutang. Sebisa mungkin memberi tenggang waktu tambahan bagi yang berhutang ketika memang belum bisa membayar, bahkan lebih baik lagi membebaskan hutang jika mampu melakukannya. Allah berfirman :
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 280)”
Apakah “Samhan” hanya terbatas pada tiga (hal) hal sebagaimana hadis di atas? Sepertinya tidak demikian. Bisa jadi Rasulullah tidak membatasi. Tiga hal di atas hanyalah contoh saja. Yang menjadi tekanan dalam hadis di atas adalah bagaimana seorang muslim harus memiliki karakter samhan dalam berinteraksi kepada siapa saja, terutama kepada sesama mu’min. Menjadi guru harus samhan, menjadi orang tua juga harus samhan, menjadi atasan juga harus samhan. Menjadi pemimpin atau penguasa juga haus samhan. Terhadap perbedaan furu’ juga harus samhan dan tidak seenaknya membid’ahkan amalan seorang mu’min yang juga belandaskan dalil !
Mengapa Allah merahmati orang yang samhan? Ya tentu saja ! Orang yang samhan itu tidak “mentang-mentang” dan tidak merasa “di atas angin.” Dan tentunya orang yang samhan tidak arogan bin zhalim.
Wallahu A’lam
Ridwan Shaleh
Referensi :
- Al-Qur’an Al-Karim
- Fath Al-Bari’
- Hasyiyah Al-Sindi
- Tuhfah Al-Ahwadzi
- Al-Muntaqa Syarah Al-Muwattha’
- Al Adab Al-Nabawi Li Al-Syaikh Muhammad Abd Al-Aziz Al-Khuli