Satu peristiwa yang jika dikenang dapat meneteskan air mata kita sebagai seorang mukmin. Ya, tak lain peristiwa itu adalah hijrah nya kaum muslimin Makkah ke Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Jarak Makkah – Madinah tidak dekat, kurang lebih 445 KM. Terbayang betapa kaium muslimin dalam ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa atas keselamatan mereka dalam perjalanan hijrah dengan unta dan dalam keadaan sembunyi-sembunyi.
Baca juga: Tahun Baru Islam Disambut Muslim Charlotte dengan Renungkan Makna Hijrah
Hijrah mereka merupakan pengorbanan luar biasa. Mereka harus meninggalkan harta, pekerjaan, rumah dan aset yang mereka miliki. Bukan hanya harta, tapi harus pula meninggalkan keluarga yang belum beriman. Mereka berkorban demi kelangsungan agama Islam agar tetap lestari. Mereka hanya patuh, mencari ridha dan kasih sayang dari Allah dan Rasul-Nya. Allah menggambarkan bagaimana pengorbanan para Muhajirin melalui firman-Nya :
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أُو۟لَٰٓئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ ٱللَّهِ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah : 218).
Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya Al-Wajiz menulis sebagai berikut :
“Sesungguhnya orang-orang yang berimankepada Allah dan Rasul-Nya, dan berhijrah dari kekufuran menuju Islam, serta berjihad untuk meninggikan kalimat Allah maka bagi mereka itu rahmat (kasih sayang) Allah yang diberikan sebagai suatu kemuliaan dan karunia. Dan Allah itu Maha Pengampun, dan Maha Pengasih kepada hamba-hambaNya. Ayat ini turun berkenanan dengan pasukan Abdullah bin Jahsh yang membunuh Al-Hadramiy di bulan Rajab sebelum perang badar. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, Apakah kami bisa mendambakan pahala orang-orang yang berjihad melalui peperangan ini?” Lalu Allah SWT memberitahu mereka bahwa mereka itu sangat mendambakan pahala itu karena keimanan, hijrah dan jihad mereka.”[1]
Penduduk Madinah yang sudah masuk Islam sebelum kedatangan kaum Muhajirin sangat ramah dan bersaudara. Mereka membantu semakmimal yang mereka mampu. Mereka mencintai kaum Muhajirin sebagaiman mereka mencintai diri mereka sendiri. Allah memuji kaum Anshar dalam firman-Nya :
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-Hasyr : 9).”
Begitu juga dengan hadis berikut :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ أَتَاهُ الْمُهَاجِرُونَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا رَأَيْنَا قَوْمًا أَبْذَلَ مِنْ كَثِيرٍ وَلَا أَحْسَنَ مُوَاسَاةً مِنْ قَلِيلٍ مِنْ قَوْمٍ نَزَلْنَا بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ لَقَدْ كَفَوْنَا الْمُؤْنَةَ وَأَشْرَكُونَا فِي الْمَهْنَإِ حَتَّى لَقَدْ خِفْنَا أَنْ يَذْهَبُوا بِالْأَجْرِ كُلِّهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا مَا دَعَوْتُمْ اللَّهَ لَهُمْ وَأَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِمْ
“Dari Anas berkata: Saat nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam tiba di Madinah, kaum muhajirin mendatangi beliau, mereka berkata: Wahai Rasulullah, kami tidak melihat suatu kaum yang lebih banyak berkorban ketika harta melimpah, dan tidak pula lebih banyak menolong ketika dalam keterbatasan, daripada kaum yang kami tinggal di tengah-tengah mereka, mereka mencukupi beban hidup kami, dan mereka menyertakan kami dalam hasil tanaman hingga kami khawatir mereka memborong semua pahala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Tidak, selama kalian berdoa kepada Allah untuk mereka dan kalian sanjung mereka.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad).
Melalui hadis di atas, kaum Muhajirin khawatir jika Kaum Anshar memborong pahala karena saking banyaknya amal kebaikan yang mereka lakukan untuk menolong Muhajirin. Rasulullah menghibur Muhajirin agar tidak risau dengan pahala yang akan mereka dapatkan. Rasulullah berpesan kepada Muhajirin agar mereka berdoa kepada Allah untuk kaum Anshar dan menyanjungnya. Karena dengan mendoakan kebaikan untuk mereka, maka hal tersebut kembali menjadi pahala untuk para Muhajirin.[2]
Begitu juga dengan hadis berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ آخَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنِي وَبَيْنَ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ فَقَالَ سَعْدُ بْنُ الرَّبِيعِ إِنِّي أَكْثَرُ الْأَنْصَارِ مَالًا فَأَقْسِمُ لَكَ نِصْفَ مَالِي وَانْظُرْ أَيَّ زَوْجَتَيَّ هَوِيتَ نَزَلْتُ لَكَ عَنْهَا فَإِذَا حَلَّتْ تَزَوَّجْتَهَا قَالَ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَا حَاجَةَ لِي فِي ذَلِكَ هَلْ مِنْ سُوقٍ فِيهِ تِجَارَةٌ قَالَ سُوقُ قَيْنُقَاعٍ قَالَ فَغَدَا إِلَيْهِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَتَى بِأَقِطٍ وَسَمْنٍ قَالَ ثُمَّ تَابَعَ الْغُدُوَّ فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَلَيْهِ أَثَرُ صُفْرَةٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَمَنْ قَالَ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ كَمْ سُقْتَ قَالَ زِنَةَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ نَوَاةً مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari kakeknya berkata; ‘Abdurrahman bin ‘Auf radliallahu ‘anhu berkata, ketika kami sampai di Madinah; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan antara aku dengan Saad bin ar-Rabi’, lalu Saad bin ar-Rabi’ berkata; “Aku adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya, maka aku beri separuh hartaku untukmu, kemudian lihatlah diantara kedua isteriku siapa yang engkau suka nanti akan aku ceraikan untukmu, jika ia telah halal maka nikahilah”. Perawi berkata; “Maka ‘Abdurrahman berkata kepadanya; “Aku tidak membutuhkan itu. Begini saja, apakah ada pasar yang sedang berlangsung transaksi jual beli saat ini?” Sa’ad menjawab: “Pasar Qainuqa'”. Perawi berkata; “Lalu Abdur Rahman pergi kesana, ia membawa keju dan minyak samin. Perawi berkata lagi; “Dia melakukan hal itu pada hari-hari berikutnya. ‘Abdurrahman tetap berdagang disana hingga akhirnya ia datang dengan mengenakan pakaian yang bagus dan penuh aroma wewangian. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apakah engkau sudah menikah?” Dia menjawab; “Ya, sudah”. Lalu beliau bertanya lagi: “Dengan siapa?” Dia menjawab; “Dengan seorang wanita Anshar”. Beliau bertanya lagi: “Dengan mahar apa engkau melakukan akad nikah?” Dia menjawab; “Dengan perhiasan sebiji emas, atau sebiji emas”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, kepadanya: “Adakanlah walimah (resepsi) walau hanya dengan seekor kambing”. (HR. Bukhari,
Begitu lekatnya persaudaraan kaum Anshar dan Muhajirin bagaikan satu bangunan kokoh. Hijrah mempersatukan mereka karena Allah.
Lalu bagaimana degan umat Islam sekarang ? Apakah kelekatan dan persaudaraan mereka selekat Anshar dan Muhajirin ? Apakah dikatakan lekat ketika masih saja ada yang ribut soal tahlilan, maulidan, qunut subuh dan khilafiyah yang lain ? Apakah dikatakan lekat jika masih saling tuduh ahli bid’ah pada persoalan ijtihad? Apakah dikatakan lekat jika masih saling serang di Medsos hanya karena berbeda pilihan calon presiden? Renungkanlah !
Selamat Tahun Baru 1444 H.
Wallahu A’lam.
Ridwan Shaleh
[1] Az-Zuhaili, Wahbah. At-Tafsir Al-Wajiz, Dar Al-Fikr , Damaskus, t.t. Hal. 35
[2] Lihat Tuhfat Al Ahwadzi Bab Sifat Qiyamah