STID Mohammad Natsir Gelar Tasyakur Penganugerahan Guru Besar Prof Daud Rasyid

 

Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Dr. H. Adian Husaini, M.Si atas nama pimpinan Dewan Da’wah menyampaikan selamat atas penganugerahan Guru Besar terhadap Prof. Dr. H. Daud Rasyid, MA dalam bidang Ilmu Tafsir dan Hadits.

Baca juga: Workshop Guru Tahfizh Al-Qur’an Profesional

Dr. Adian berharap capaian yang diraih Prof. Daud Rasyid dapat memicu para kader dan dai muda Dewan Da’wah untuk lebih serius lagi belajar. Sehingga memiliki ilmu yang mumpuni untuk dakwah ilallah.

“Kalau secara keilmuan kita sudah tidak meragukan beliau. Dari tahun 1992 beliau sudah mengkritik orientalisme dan liberalisme, dan kita tahu beliau sangat konsisten,” ungkap Dr. Adian.

Lebih lanjut ia menegaskan, gelar Guru Besar ini semakin memberikan semangat dan mengokohkan keyakinan bahwa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohamad Natsir adalah kampus terbaik.

“Karena setiap kita bercerita tentang STID kepada Syekh di Timur Tengah, mereka kagum. Sebabnya, salah satu kampus dakwah yang 100% lulusannya jadi dai ya STID ini,” tegasnya.

Sementara itu, dalam orasi ilmiahnya yang bertajuk “Melawan Arus Liberalisme dalam Kajian Tafsir dan Hadits”, Prof. Daud Rasyid mengungkapkan bagaimana liberalisme masuk dalam kajian disiplin ilmu tersebut.

Liberalisme, imbuhnya, masuk secara perlahan ke bidang tafsir dan hadits melalui hermeneutika. Walaupun, tegasnya, semerbaknya hanya di Indonesia, karena di Mesir harus berhadapan dengan para Profesor Mufasir dari Al azhar dan Darul Ulum.

“Ketika Nasr Abu Zayd melontarkan hermeutika dalam tafsir, para ulama serempak menggugat, khususnya Profesor Abdushobur Syahin, sehingga Nasr Abu Zayd kabur dari Mesir ke Belanda,” kisahnya.

Karena, saat itu para ulama Azhar mengajukan gugatan ke pengadilan Mesir bahwa pemikiran Nasr yang ada di buku-bukunya sudah cukup membuat dia murtad. Sehingga pengadilan Mesir waktu itu memfasakh Nasr dengan istrinya, ini peristiwa 20 tahunan yang lalu.

“Jadi pagar benteng di sana sangat kuat, khususnya di Al Azhar dan Darul Ulum Universitas Kairo,” tegas Prof Daud.

Sedangkan hari ini di Indonesia, pemikiran liberal sudah menjadi institusi formal. Mata kuliah Hermeneutika sudah menjadi mata kuliah formal di sejumlah jurusan tafsir hadits di indonesia.

“Jadi akar kekeliruan para pengagum Hermeneutika ini adalah mereka tidak meyakini bahwa Quran itu lafdzon wa maknan dari Allah. Sehingga mereka mengutak-atik makna  kitab suci mereka sesuai perkembangan zaman,” jelasnya.

Karena itu, ia berharap dari STID Mohammad Natsir akan lahir para cendikiawan muslim dan peneliti andal.

“Jadi bukan hanya sekadar memegang ijazah, tapi siap bertarung di kancah pemikiran. Entah di jurnal, di forum diskusi atau buku ilmiah, itulah yang kita inginkan,” pungkasnya.

Sementara itu, rektor STID Mohammad Natsir, Dr. Dwi Budiman Assiroji mengatakan gelar profesor yang diraih dapat memperkuat dan mengembangkan atmosfer keilmuan di kampus STID.

Ia juga mengatakan, belakangan ini fenomena ghazwul fikri memang mungkin agak sedikit berkurang di bangku perdebatan, atau di buku-buku.

“Namun ghazwul fikri sesungguhnya tidak pernah hilang, dia hanya berpindah tempat. Sekarang berpindah ke media sosial. Karena itu kedepan diperlukan kader dai yang mampu mengimbangi serangan pemikiran ini di media sosial,” katanya.[ah/mediadakwah]

Donasi PKH