Pertanyaan :
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Pak Ustadz
Saya ingin bertanya perihal salat.
- Kapan kita mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud (tahiyat) awal dan akhir dan bagaimana bacaannya yang betul (berdasarkan cara Nabi Muhammad SAW.) dari masing2 tahiyat ini.
- Dalam membaca do’a iftitah itu sebenarnya bacaannya seperti apa (berdasarkan cara Nabi Muhammad SAW.) Saya pernah dengar bahwa bacaan do’a iftitah berbeda-beda seperti doa iftitah (orang2 muhammadiyah), doa iftitah (orang2 NU).
- Ketika kita salat berjama’ah, apakah yang kita baca (sebagai makmum) yaitu pada saat Imam selesai melakukan takbiratul ihram (sebelum membaca al-fatihah), pada saat Imam membaca al-fatihah, pada saat Imam membaca surah Al-Qur’an. Misalnya pada salat subuh, maghrib dan zuhur (ashar dan isya).
- Sebelum kita melakukan takbiratul ihram, bagaimana cara berniatnya apa diucapkan secara lisan atau di dalam hati dan apa hukum niat solat itu.
- Ketika diujung salat yaitu salam, apa bacaannya (berdasarkan cara Nabi Muhammad SAW.
Angga
Terimakasih
Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Jawaban :
Wa alaikumus salam wr wb.
Sebelum menjawab poin-poin yang ditanyakan, kita akan bahas terlebih dahulu istilah “Shalat menurut cara Nabi SAW”
Maksud dari istilah “Shalat menurut cara Nabi SAW” adalah mengerjakan shalat sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Kita wajib mengikuti apa yang diajarkan Rasulullah SAW dalam hal beribadah, apalagi dalam hal melaksanakan shalat tentunya.
Lalu bagaimana cara kita mengikuti shalat Beliau SAW ? Ya tentu saja dengan cara kita mempelajari shalat tersebut dari para pewaris Nabi SAW, yaitu para ulama. Para ulama terutama para Imam Madzhab inilah yang jaraknya lebih dekat dengan para sahabat Rasulullah SAW. Guru-guru mereka adalah para tabi’in yang tentunya berguru langsung dengan para sahabat Nabi SAW. Sekedar contoh saja misalnya Imam Malik Rahimullah Ta’ala. Beliau adalah salah satu dari empat imam madzhab fiqh. Beliau diberi gelar Imam Daril Hijrah (Pemuka Ulama Madinah). Beliau mempunyai guru yang bernama Nafi’ Rahimahullahu. Beliau (Nafi’) adalah mantan budak dsri Sahabat Abdullah Ibn Umar RA. Nafi’ Rahimahullahu Ta’ala tentunya berguru langsung kepada Abdullah Ibn Umar RA. Guru dari Abdullah Ibn Umar RA adalah ayahnya (Umar Ibn Al-Khattab RA) dan Rasulullah SAW. Dengan demikian. Sudah sangat jelas bahwa sanad keguruan beliau-beliau bersambung kepada Rasulullah SAW. Tentu saja dalil yang digunakan dalam ber-fiqh baik shalat dan lainnya adalah Al-Qur’an dan Hadis-hadis Rasulullah SAW. Untuk kita yang awam ini, tentu menjadi layak mengikuti (ittiba’) kepada salah satu dari imam 4 madzhab karena kedalaman ilmu beliau-beliau, baik dalam bidang fiqh mau pun hadis.
Namun yang perlu kita maklumi bahwa tidak selalu pendapat para imam madzhab ini sama dalam menyimpulkan hukum fiqh. Keragamaan pendapat beliau-beliau yang sangat pakar ini tentu dalam hal teks nash, baik dari ayat Al-Qur’an maupun Hadis. Selain dari pemahaman teks nash yang tidak selalu sama, penilaian tentang kuat atau lemahnya hadis menurut beliau-beliau ini juga bisa saja menyebabkan kesimpulan hukum yang tidak sama. Namun perlu dipertegas lagi, bahwa keragamaan merka dalam berijtihad adalah sekitar masalah teks nash yang memang sangat memungkinkan adanya multi tafsir dan masalah tersebut berkutat pada masalah furu’iyah yang masih sangat dimaklumi dan ditolelir, tidak pada masalah pokok seperti tauhid. Dengan demikian, ittiba’ kepada salah satu madzhab sudah pasti mengikuti ibadah yang diajarkan Rasulullah SAW.
Contoh lain yang paling mudah kita temui seperti pertanyaan di atas adalah masalah membaca do’a iftitah dalam shalat. Sebagian ulama ada yang membaca iftitah dengan do’a Allahumma Ba’id Baini dst dan sebagian lagi ada yang membaca dengan Allahu Akbar Kabira dst. Kenapa, kok beda ? karena masing-masing mereka mempunyai dalil hadis bahwa nabi ketika iftitah membaca doa yang mereka hujahkan. Dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa do’a iftitah, baik Allahu Akbar Kabiira atau pun redaksi lainnya yang bersumber dari hadis, boleh dibaca semuanya ketika ifitah.
Baiklah, Bii Aunillaahi Ta’ala saya mencoba memaparkan beberapa point pertanyaan akhi angga sebagai berikut :
- Untuk masalah taharruk (menggerakan ) jari ketika tasyahud, sebagai berikut :
- Imam hanafi berpendapat bahwa mengangkat jari ketika sampai pada kalimat “La” dan menurunkan kembali ketika pada kalimat “illa”
- Mazhab Maliki berpendapat bahwa menggerakan jari ke kanan dan ke kiri mulai dari awal tahiyyat sampai akhir.
- Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa mengangkat telunjuk ketika mengucapkan “Illallaah”
- Madzhab Hambali : Mengerakkan jari ketika setiap kali membaca kalimat “Allah”
Mengenai bacaan tasyahud yang populer adalah sebagaimana yang umum dibaca masyarakat kita.
- Mengenai bacaan iftitah, malikiyah berpendapat makruh, sedangkan jumhur berpendapat sunnah. Do’a iftitah sangat banyak, mungkin yang paling jarang dibaca di masyarakat kita adalah redaksi : subhanakkallahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuk wa taalaa jadduk wala ilaaha ghairuk. Adapun bacaan iftitah NU dan Muhammadiyah sebagaimana yang anda tanyakan semuanya berdasarkah dari Hadis Rsulullah SAW dan kita boleh memilih salah satu diantaranya atau membacanya berganti-gantian, hari ini allahu akbar kabira, besoknya Allahumma ba’id dan besoknya lagi sebagaiman redaksi diatas.
- Jumhur berpendapat bahwa disunnahkan makmum membaca do’a iftitah sebelum imam memulai bacaan al Fatihah. Makmum mendengarkan bacaan Al fatihah ketika imam membacanya. Kemudian makmum membaca Al Fatihah ketika imam membaca surah setelah al fatihah. Bagaimana jika bacaan imam lebih pendek dari bacaan fatihah makmum ? makmum membaca alfatihah sepanjang bacaan imam walaupun fatihahnya belum selesai. Ini menurut pendapat madzhab Asy-Syafi’iyyah. Untuk pendapat madzhab lainnya dalam masalah ini, bisa dibaca lengkap di artikel kami : Hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum.
- Para ulama sepakat bahwa niat adalah di dalam hati. Adapun membahasan atau melafazkan niat itulah yang menjadi perselihan mereka. Talaffuzh niyat ( membahasakan niyat) seperti membca ushalli dst, sebagian ulama ada yang menganggap sunnah, sebagian lagi menganggap boleh dan sebagian lagi menganggap makruh bahkan ada yang menganggap bid’ah.
- Mengenai sighat salam : Madzhab hanafi berpendapat paling sedikit dengan mengucapkan “assalam”. Sedangkan Madzhab Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa lafazh yang paling minimal adalah assalam alaikum (syafi’I hambali)./ ke semua madzhab sepakat bahwa yang paling afdhal adalah menggunakan redaksi lengkap, yaitu : “assalam alaikum wa rahmatullah” dan mereka sepakat tidak danjurkan membaca wa barakatuh
Wallahu a’lam
Wassalam alaikum wr wb.
Ridwan Shaleh